Awkarin adalah sosok anak muda yang
sebenarnya tidak perlu dicemaskan. Ia merasa baik-baik saja, meski belum lama
ini gagal masuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia lantaran lebih
menyibukkan diri bersama pacarnya. Tragisnya ialah Awkarin, yang bernama asli
Karin Novilda, merupakan peraih NEM tertinggi ke-3 tingkat SMP di tahun 2013
tingkat Provinsi Kepri.
Namun, seseorang bisa saja sangat
berubah. Dilihat dari media sosial, gadis ini tidak menunjukkan rasa sedih
ketika menghadapi kegagalan tersebut. Ia tetap bergembira bersama
sahabat-sahabatnya mengikuti berbagai pesta. Ia justru lebih depresi dan menangis
tersedu-sedu ketika diputuskan pacarnya. Bahkan ia mengunduh video cara
berpakaian, kata-kata dan perilaku pacaran di luar normatif budaya Indonesia.
Bisa jadi itu adalah hal yang wajar bagi Awkarin, karena toh tanpa menempuh
pendidikan yang tinggi pun, dan dengan konten apapun yang diunggahnya di media
sosial, saat ini ia telah berhasil mendapatkan pendapatan minimal $ 1.200
(sekitar Rp. 15.600.000 per bulan), berkat traffic channel media
sosialnya yang terus melonjak. Bukan angka yang sedikit untuk remaja seusianya.
Dalam hal ini, tentu menjadi fenomena yang mencemaskan
karena pengikut setia Awkarin adalah anak-anak dan remaja yang sedang mencari
jati diri sehingga mereka berpeluang besar mengikuti gaya hidupnya. Ada apa
sebenarnya dengan generasi masa kini? Sedemikian rapuhnyakah nilai-nilai
pendidikan kita sehingga sulit menjangkau percepatan pemikiran, perasaan dan
perilaku anak-anak kita karena pengaruh media? Atau kurang kuatnya fondasi
kehidupan berkeluarga?
Di luar negeri, generasi Awkarin ini
dikenal sebagai fenomena anak muda kekinian yaitu generasi swag. Di
Indonesia, istilah swag diberikan oleh Young Lex, rapper Indonesia
yang sangat dikenal oleh para Youtuber. Jika dilihat dari Kamus Bahasa
Inggris, swag memiliki arti kehancuran. Tapi beberapa tahun terakhir, swag
berubah makna menjadi ‘keren’. Perubahan makna ini bisa dibilang akibat
ulah Justin Bieber yang sering menyelipkan kata swag ke dalam
lirik-lirik lagu yang dinyanyikannya. Definisi swag menurut Justin
Bieber ialah tentang bagaimana menjadi diri sendiri. Percaya akan kekuatan diri
dan berusaha membuat dirinya menjadi seseorang yang spesial. Dari situlah swag
bagaikan ‘kata ajaib’ untuk para anak muda dunia. Banyak selebriti dunia
yang memakai gaya swag sebagai ciri khasnya. Selain Justin, sebut saja
rapper dan penyanyi ternama Amerika Serikat, Eminem, Lil Wayne. Untuk selebriti
Asia, kita bisa menyebutkan G-Dragon dari Bigbang. Mereka semua dikenal sebagai
swagger. Swagger ialah sosok yang jadi dominan atau spesial
karena mempunyai kelebihan. Seseorang disebut swagger jika ia mempunyai
rasa percaya diri yang tinggi dan fashionable. Selain itu, para swagger
juga mempunyai pesona yang membuatnya punya banyak pengikut.
Mencermati fenomena Awkarin, banyak
pihak khususnya pendidik dan orang tua menyoroti perilaku negatifnya, seperti
dilansir dari majalah Femina edisi 26 Juli 2016 lalu yaitu :
Banyaknya sisi negatif fenomena Awkarin dapat kita anggap sebagai
egosistem media sosial dan perilaku anak muda yang memiliki rasa keakuan dan
kegalauan yang sulit dipahami, dan membutuhkan solusi yang tidak sederhana.
Bagaimana kita dapat membangun
mental dan karakter anak sebagai anak tangguh yang tidak mudah terjebak arus,
mencintai kelebihan-kelebihan dari potensi dirinya dan memiliki jati diri utuh
tentang diri sendiri, dimana dia tinggal, keluarganya, sopan santun dalam
berinteraksi sosial dan nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap interaksi
sosialnya. Mau tidak mau kita harus flashback ke masa dimana anak tumbuh
dan berkembang. Salah satu tempat pengenalan pendidikan karakter utama dan
pertama adalah dalam keluarga.
Apa yang dapat keluarga lakukan
untuk membentengi dan memperkuat karakter anak-anak mereka? Tidak ada salahnya
kita belajar dari bangsa Jepang, yang menanamkan karakter baik sejak dini, baik
di rumah dan di sekolah, sehingga secara tidak langsung mempengaruhi cara
kerja, prestasi belajar dan kerja mereka hingga dewasa. Karakter baik ini
memiliki dampak dalam lingkup luas, tidak hanya di keluarga saja namun dalam
pergaulan di sekolah, lingkungan kerja hingga menjadi jati diri bangsa itu
sendiri.
Mendidik anak yang berkarakter dari
lingkungan keluarga membutuhkan komitmen, kepekaan dan rasa kasih yang besar
sehingga nilai-nilai yang kita tanam pada anak menjadi pegangan seumur
hidupnya. Prinsip-prinsip pilar hidup utama nilai budaya Jepang yang dapat kita
ambil dalam upaya mendidik anak yaitu :
Kesepuluh prinsip-prinsip dasar
budaya diatas jika ingin diterapkan dalam proses mendidik anak, harus dimulai
dari kita sebagai orang tua. Orang tua harus memiliki kerelaan untuk merubah
diri agar anak-anak dapat mencontoh tanpa perlu kita bersusah payah dan merasa
berat untuk menjalankan tugas dan peran kita sebagai pendidik karakter utama
dalam keluarga. Bergeraklah dari perilaku-perilaku kecil yang sederhana,
semisal dari disiplin waktu, kebersihan dan kerapihan, kemandirian, dan
seterusnya yang tujukan untuk membangun karakter yang lebih besar adalah hal
yang harus kita terapkan sejak dini anak sedari kecil. Bangun komitmen kuat
untuk menanamkan karakter kualitas prima pada anak-anak sehingga bekal mereka
untuk menghadapi gempuran nilai-nilai negatif diluar keluarga tetap tangguh
seperti baja dan tetap berpegang pada jati diri dan nilai baik sebagai manusia
seutuhnya.***
Oleh : Ni Made
Ratna Paramita, M.Psi - Psikolog Klinis RSJ Prof. Dr. Soerojo
Magelang
Ketentuan Umum Pendaftaran Online