Generasi muda Indonesia adalah generasi penerus bangsa Indonesia yang diharapkan mampu menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang unggul. Sebagaimana kutipan kalimat Bung Karno “Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Hal ini menyiratkan bahwa nasib bangsa Indonesia ada ditangan generasi muda. Untuk itu sedini mungkin perlu dibentuk karakter generasi muda dalam mampu menghadapi berbagai perubahan dunia yang berjalan cepat.
Pada peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (HKJS) yang digelar pada 10 Oktober2019 mengusung tema “Generasi muda yang bahagia, tangguh dan sehat jiwa menghadapi perubahan dunia”. Tujuan dari tema ini adalah mencegah bunuh diri di usia muda. Peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran seluruh warga dunia akan pentingnya kesehatan jiwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang sehat baik fisik maupun jiwanya.
Generasi muda identik dengan masa balita, kanak-kanak, remaja dan dewasa. Kategori usia berdasarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2009 adalah sebagai berikut: masa balita (0-5 tahun), masa kanak-kanak (5-11 tahun), masa remaja awal (12-16 tahun), masa remaja akhir (17-25 tahun), masa dewasa awal (26-35 tahun), masa dewasa akhir (36-45 tahun). Menurut World Health Organization (WHO) penggolongan usia terbaru adalah sebagai berikut: anak-anak (0-17 tahun) dan pemuda (18-65 tahun).
Seiring dengan pesatnya perubahan dunia saat ini menimbulkan dampak positif dan negatif pada generasi muda di seluruh dunia. Salah satu dampak positif perubahan dunia adalah berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang memberikan banyak kemudahan bagi individu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun perubahan dunia yang begitu pesat juga memberikan dampak negatif kepada individu. Dampak negatif ini juga dapat dialami oleh generasi muda. Generasi muda yang tidak mampu beradaptasi dengan pesatnya perubahan dunia dapat berisiko mengalami gangguan fisik dan jiwa.
Generasi muda yang mengalami gangguan kejiwaan dapat berpotensi melakukan tindakan yang tidak diinginkan dan salah satunya adalah munculnya upaya bunuh diri. Bunuh diri merujuk pada pikiran dan tindakan seseorang yang bertujuan mencari kematiannya sendiri, termasuk juga adanya suatu pikiran dan tindakan penelantaran diri. Berdasarkan data statistik WHO, kasus kematian akibat bunuh diri adalah sekitar satu juta orang per tahun. Adapun mean mortality rate adalah 16 per 100.000 yang menunjukkan bahwa terdapat rerata kematian 1 orang setiap 40 detik.
Tingginya angka kejadian bunuh diri mengindikasikan perlunya dilakukan tindakan pencegahan untuk meningkatkan kualitas hidup individu. Berdasarkan data Suicide Prevention Program (SUPRE) yang tertera dalam website WHO, didapatkan bahwa pada beberapa negara angka kejadian bunuh diri meningkat pada remaja dan dewasa muda. Angka kejadian pada lelaki dan perempuan memiliki rasio sekitar 4:1 pada remaja dan dewasa muda.
Faktor risiko terjadinya bunuh diri diantaranya adalah adanya gangguan psikiatrik dan sekitar 80-90% individu yang melakukan bunuh diri mengalami gangguan psikiatrik. Faktor lain adalah lingkungan keluarga dengan riwayat gangguan psikiatrik, penyalahgunaan napza dan perselisihan keluarga. Selain itu juga berkaitan dengan adanya stresor berupa bullying,, masalah hukum atau kedisiplinan, penahanan dan kesulitan belajar di sekolah. Menurut Fergusson et al tahun 1999 dan Russell et al tahun 2001, terdapat juga faktor risiko bunuh diri yang berkaitan dengan seksualitas (gay, lesbian, biseksual pada orang muda). Pengaruh internet dan jejaring sosial juga merupakan salah satu faktor risiko untuk yang perlu diperhatikan.
Menurut Cash dan Bridge (2009), terdapat beberapa faktor risiko bunuh diri pada usia remaja.
Adanya beberapa tanda dan gejala bunuh diri perlu dikenali agar dapat dilakukan pencegahan
Menurut Daniel dan Goldston (2009), intervensi psikososial yang bisa dilakukan untuk mengatasi kasus pemuda dengan ide/tindakan bunuh diri antara lain:
Pencegahan bunuh diri berdasarkan The World Health Organization suicide prevention (SUPRE) program yang menekankan pada pengurangan mortalitas, morbiditas dan konsekuensi lain dari tindakan bunuh diri antara lain:
Adanya pemahaman masyarakat terhadap pengenalan dini deteksi gangguan jiwa yang berpotensi pada tindakan bunuh diri dapat memberikan bantuan kepada generasi muda yang mengalami permasalahan dalam tahapan kehidupannya sehingga generasi muda dapat meningkatkan kualitas hidupnya secara optimal.
Lingkungan kondusif dan masyarakat yang memahami faktor-faktor risiko terjadinya bunuh diri dapat mencegah kejadian yang tidak diiinginkan serta dapat mewujudkan generasi muda yang bahagia, tangguh dan sehat jiwa.
dr. Nindita Pinastikasari, S.H, SpKJ
RSJ Dr. Radjiman Wediodidingrat Lawang
Ketentuan Umum Pendaftaran Online